Cari apa saja di sini

Cerpen: Énno


Aku “terlambat” mengenalnya. Padahal, kami memiliki jalinan kekerabatan yang dekat. Mungkin karena bertempat tinggal di desa berlainan dan harus melalui bulak-bulak sawah yang serasa amat panjang untuk bisa menemuinya, tak ada perjumpaan yang intens antara aku dan Arsono.


Ayahku dan ayah Arsono sepupu dua kali. Dengan sendirinya, aku dan Arsono sepupu tiga kali. Tetapi, sayangnya, baru saat kelas V Sekolah Dasar (1977) ada semacam starting point dalam diriku untuk mengenal Arsono. Dan Arsono kala itu, kelas III di Sekolah Dasar yang lain, dengan jarak berjauhan dari Sekolah Dasarku. Mungkin karena aku lebih tua dari segi usia, tiba-tiba aku mendapati Arsono memanggilku “kakak”. Dan aku pun memanggilnya, “Énno”.

Sebagai individualitas, Énno bukanlah tokoh istimewa bagi orang-orang yang pernah mengenalnya. Tapi bagiku, hidup dan kehidupan Énno menjadi prolog untuk memasuki pintu gerbang pemikiran tentang ketidakberdayaan manusia berhadapan dengan semesta penderitaan. Perhatianku yang tak habis-habisnya dalam hal memahami human suffering di kelak kemudian hari, sesungguhnya tak pernah bisa dilepaskan dari sosok Énno itu. Pada diri seorang Énno itulah untuk pertama kalinya aku belajar memahami penderitaan manusia dengan jarak tertentu, dengan perspektif tertentu, dengan renungan-renungan tertentu, dengan filosofi tertentu.

Di masa kecil aku merasakan pahit getir kemiskinan. Tapi ternyata, Énno berada dalam kondisi yang jauh lebih papa. Kami memang berada dalam jurang kemiskinan. Tetapi Énno berada dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam.

Hidup di sebuah pedesaan di kawasan utara Jember, Jawa Timur, pada tahun 1970-an, aku merasakan nuansa kemiskinan yang begitu mencekik. Bersama anak-anak lain dari keluarga miskin, aku terbiasa mencari makan di alam bebas. Pada suatu ketika, sambil menceburkan diri ke air, kami berburu udang di sungai. Udang hasil tangkapan lantas kami jemur di atas batu-batu besar yang memanas oleh terik matahari. Aku menyaksikan mayat-mayat udang yang terjemur di atas batu panas itu memasuki fase “evolusi”. Jika semula berwarna hitam, pelan tapi pasti udang itu kemudian memerah, memerah dan terus memerah. Kami menyaksikan dengan girang “evoluasi” itu, lalu setelah dirasakan cukup matang, kami menyantapnya bersama-sama. Sekadar untuk bisa bertahan hidup.

Pada kesempatan lain, kami berburu ikan, belut, kodok, musang, jamur, rambutan dan mangga, serta durian rontok. Semua itu dilakoni sebagai mekanisme pertahanan diri agar tetap hidup. Tak ada yang berkelebihan di antara kami, lantaran seluruhnya adalah anak-anak dari keluarga miskin. Tragisnya, di tempat lain, Énno lebih miskin dari yang kami rasakan. Lebih nestapa dari yang kami rasakan.

Bersama kawan lain satu desa, aku masih berkesempatan membaca buku. Ada toko kecil penyewaan komik dan buku cerita yang berlokasi di sebelah selatan Stadion Glagahwero. Beberapa dari kami patungan mengumpulkan uang hingga mencapai Rp 25, untuk keperluan menyewa komik dan buku-buku cerita. Kami lalu bergilir membacanya. Dalam kesempatan lain, seorang guru meminjamkan buku-buku cerita untuk aku baca. Ternyata, Énno tak pernah memiliki “kemewahan” semacam itu.

Tak seperti kami anak-anak miskin yang hidup bersama orangtua kandung, Énno ternyata menumpang hidup di rumah seorang yang ia panggil “bibi”. Suami dari sang bibi adalah kepala keamanan kampung. Ia memelihara empat ekor sapi, dan Énno yang sepenuhnya bertanggung jawab mengurus sapi-sapi itu. Maka, hari-hari Énno di masa kanak-kanak hilang musnah mengurusi sapi-sapi itu. Belum lagi harus mengurus sawah, mencuci pakaian setiap orang dalam keluarga sang bibi serta mengangkut berbagai macam sembako dari pasar melewati bulak-bulak sawah yang panjang.

Usai shalat Subuh, Énno membersihkan kandang sapi. Terlebih dahulu ia menarik tali kekang empat ekor sapi keluar kandang. Ia lalu menambatkan tali kekang empat ekor sapi itu di halaman rumah yang di sebelah baratnya tersedia tempat untuk rumput pakan sapi. Setiap hari, ia harus sudah selesai melaksakan tugas itu pada pukul 06:00 pagi. Dari sejak Subuh itu, ia tak memiliki kesempatan mengembangkan imajinasi di tengah tingkah sekawanan burung yang berkicau di pucuk-pucuk pohon.

Tatkala kami masih kanak-kanak, alam pedesaan di kawasan utara Jember ditandai oleh masih bertahanya habitat burung. Paling tidak hingga akhir dekade 1980-an, pagi hari benar-benar bernuansakan pedesaan dengan kicau burung bersahut-sahutan. Aku dan kawan-kawan mengembangkan imajinasi tentang kicau burung yang diserupakan dengan alunan musik. Maka, sering kami bercerita tentang kicau burung yang bertengger di puncak-puncak pohon di belakang rumah-rumah kami.

Pernah pada suatu hari, dengan gaya bertutur menarik, seorang kawan bercerita tentang kicau burung di belakang rumahnya, yang menyerupai musik dangdut Oma Irama—maksudnya Rhoma Irama. Serta-merta, aku dan teman lain tertawa berderai-derai mendengar cerita itu. Sebab, tak mungkinlah ada kicau burung yang menyerupai musik dangdut Oma Irama. Tapi begitulah imajinasi di masa kanak-kanak. Suara-suara burung memiliki identifikasi dengan bunyi-bunyian lain ciptaan manusia.

Kawasan utara Jember dewasa ini.

Aku juga terpesona mendengar kicau burung di pohon-pohon belakang rumah, seakan mengeluarkan suara, “cuplik,….. cuplik,….. cuplik,….. cuplik,…..”. Aku lantas teringat seorang kawan perempuan saat di kelas 1 SMP. Walau tak pernah saling bertegur sapa lantaran kemudian ia pindah ke sekolah lain, kawan perempuan ini elok wajahnya. Dan dahsyatnya lagi, ia punya nama panggilan “Cuplik”. Maka, setiap pagi aku seperti terhipnotis menunggu munculnya suara-suara burung yang berbunyi “cuplik,….. cuplik,….. cuplik,….. cuplik,…..”. Hingga aku tulis sketsa ini, tak pernah aku ceritakan kepada siapa pun suara-suara burung yang berbunyi “cuplik,….. cuplik,….. cuplik,….. cuplik,…..”.

Begitulah kicau burung, mengoreskan cerita tentang masa kanak-kanak kami di alam pedesaan bernuansakan pegunungan. Tapi kontras dengan itu, adalah masa kanak-kanak Énno. Ia tak memiliki kemampuan mengimajinasikan suara-suara burung di pagi hari dengan suatu bentuk keindahan estetika bikinan manusia. Pagi bagi Énno merupakan spektrum waktu yang dilalui dengan kerja keras.

Lewat jam enam pagi ia harus sudah mandi di sebuah sungai kecil untuk kemudian melangkahkan kaki menuju sekolah. Ia tak pernah mendapatkan makan pagi. Lewat tengah hari usai sekolah, ia baru mendapatkan makananya. Nasi jagung dengan sambal dan lauk amat sederhana, ia makan seukuran porsi orang dewasa.

Usai makan itu drama lain bergulir. Kami pada umumnya berkesempatan melakukan puspa ragam permainan atau membaca buku atau melakukan kegiatan lain yang menyenangkan. Tapi tidak dengan Énno. Ia harus menaiki gumuk-gumuk atau berjalan jauh demi menemukan rumput-rumput “berkualitas baik” untuk makan empat ekor sapi. Énno menghabiskan hari-hari dengan bekerja layaknya orang dewasa. Dan tragisnya, bertahun-tahun ia tak mendapatkan upah.

Pernah suatu hari Énno turut mandi beramai-ramai di sungai. Hampir semua dari kami bergembira ria dengan melompat dari tempat ketinggian. Hampir semua dari kami mengimajinasikan dirinya sebagai tokoh-tokoh super hero saat melompak dari ketinggian. Ada yang berteriak, “Aku Superman…..” lalu melompak byur ke dalam air. Ada juga yang melompat ke tengah air dengan meniru gaya bersilat Bruce Lee.

Énno tak pernah tertarik dengan semua itu. Ia mencebur secara mekanik ke dalam sungai. Ia malah membicarakan sapi-sapi yang setiap dua hari sekali harus ia mandikan.

Menjelang akhir dekade 1980-an, aku berangkat mengadu nasib ke Jakarta. Aku menjadi wartawan, penulis dan peneliti di Jakarta. Sebagai sosok yang diliputi duka nestapa, Énno tak pernah hilang dari ingatanku. Eksistensinya membuntuti keberadaanku di Jakarta.

Pada awal 1990-an, aku mendapatkan kabar Énno wafat, dengan sakit yang tak jelas. Dari tempat yang jauh, aku menundukkan kepala untuknya dan mengiringi kepergiannya ke alam baqa dengan tetesan air mata. Perih rasanya mengenang Énno.

Sejak saat itu, setiap berpikir tentang penderitaan manusia, selalu aku terkenang Énno. Seandainya ia bisa mendengar kini, ingin kukatakan: “Énno kau telah memberiku landasan moralitas memahami penderitaan umat manusia”.[]

Jakarta, 29 Maret 2010
-
http://www.facebook.com/note.php?note_id=400098431467

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau bergabung klik FOLLOW berikut ini :

Total Kunjungan