Diterima: Minggu, 21 November, 2010 09:20
Anwari WMK
Sumiati, TKW yg disiksa di Arab |
Kenyataan
ini mengingatkan kita pada pandangan filosofis GWF Hegel (1770-1831), bahwa
sejarah merupakan perjuangan abadi meneguhkan kebebasan. Di sepanjang
perjalanan sejarah, manusia berjuang meraih kebebasan. Format atau bentuk
perbudakan mungkin saja berubah. Tetapi, hakikat dan makna perbudakan justru
membentang panjang dalam sejarah umat manusia. Cita-cita mewujudkan kehidupan
yang manusiawi pun terus bergema abadi tanpa titik akhir. Sejarah lalu tak
pernah kehabisan agenda menyuarakan pembebasan hakiki manusia dari belenggu perbudakan.
Sejarah bahkan dengan mudahnya berubah menjadi mantra pembebasan manusia dari
perbudakan. Dan karena itu pula sejarah merupakan hakim agung yang tampil ke
depan memberikan penilaian terhadap martabat tidaknya kehidupan umat manusia.
Kisah
sedih dan penderitaan Sumiati binti Salan Mustafa (23) merupakan contoh
kongkret kecamuk perbudakan pada abad 21. Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Dompu,
Bima, Nusantara Tenggara Barat, itu sejak 18 Juli 2010 bekerja sebagai pembantu
rumah tangga pada keluarga Khaled Salem M. al-Khamimisering di Madinah, Arab
Saudi. Ia hadir sebagai TKW di keluarga tersebut melalui perusahaan penyalur
tenaga kerja yang berkedudukan di Jakarta. Tragisnya, Sumiati yang tak mampu
berbahasa Arab dan Inggris mengalami siksaan fisik. Di sekujur tubuh Sumiati
terdapat bekas luka sangat parah. Bahkan terdapat bekas guntingan di mulut
Sumiati. Media micro-blog [facebook
dan twitter] lantas heboh oleh terkuaknya berita penyiksaan Sumiati.
Apa
yang bisa dimengerti dari cerita pilu Sumiati adalah perbudakan pada abad 21.
Suprastruktur pencetus perbudakan sepenuhnya faktor ekonomi. Sehingga tak
berlebihan jika dikatakan, duka pilu Sumiati merupakan akibat logis dari
bekerjanya sistem ekonomi perbudakan. Sementara berbagai aspek pendukung terciptanya
sistem ekonomi perbudakan tak dirasakan sebagai elemen vital pembentuk sistem
perbudakan. Dengan kata lain, sistem ekonomi perbudakan telah sedemikian rupa
membentuk mind set, sehingga tak
dirasakan sebagai penistaan terhadap kemanusiaan. Tindakan keji keluarga
majikan lalu menemukan momentumnya oleh bekerjanya sistem ekonomi perbudakan.
Bagaimana
sistem ekonomi perbudakan bekerja, dapat disimak dari paparan berikut. Pertama, perusahaan penyalur tenaga
kerja mengetahui dengan jelas, bahwa Sumiati tak mampu berbahasa Inggris dan
Arab. Penempatan Sumiati sebagai pekerja migran di Madinah menjadi suatu bentuk
pemaksaan terhadap fakta kegagapan berkomunikasi pada seorang pekerja migran
internasional. Ini bukanlah problema aksidental, tetapi sebuah tindakan yang inherent dengan sistem ekonomi
perbudakan. Jika perusahaan penyalur tenaga kerja memiliki kesadaran utuh berkenaan
dengan bahaya besar kemanusiaan akibat bekerjanya sistem ekonomi perbudakan,
maka niscaya untuk tak menjadikan Sumiati pekerja migran internasional.
Perusahaan penyalur tenaga kerja abai terhadap problema bahasa sebagai pencetus
terjadinya kesalahpahaman dalam totalitas relasi buruh-majikan.
Kedua, Sumiati merupakan sosok
anak bangsa yang ternista ketidaksempurnaan pasar kerja. Berlatar belakang
keluarga miskin, ia mendamba hidup lebih baik melalui pelaksanaan peran sebagai
pekerja migran. Tapi, keterbatasan kemampuan memperhadapkan dirinya pada opsi
kerja sebagai pembantu rumah tangga. Seandainya pasar kerja bersih dari
patologi ekonomi perbudakan, maka seorang anak bangsa seperti Sumiati
diberdayakan terlebih dahulu. Kita menyaksikan di sini, perusahaan penyalur
tenaga kerja hanya fokus pada perolehan keuntungan dari fungsi agensi
pengiriman tenaga kerja ke mancanegara. Tidak penting seorang seperti Sumiati
memiliki kelemahan dalam hal penguasaan bahasa asing, sebab yang dipandang
penting hanyalah keuntungan dari besarnya permintaan lapangan kerja oleh para pencari
kerja di negeri ini.
Ketiga, ekonomi perbudakan
menguat sebagai konsekuensi logis kegagalan negara menegakkan kedaulatan
rakyat. Hingga kini, para penyelenggara negara berada pada titik pertaruhan,
justru karena gagal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tatkala kasus Sumiati
menyeruak ke permukaan, berbagai elemen negara yang berkaitan erat dengan
pekerja migran justru masih berbicara tentang momentum penegakan hak asasi
manusia TKW di mancanegara. Sungguh pun ekspor TKW telah berlangsung sejak
dekade 1980-an, negara masih kosong dari spirit pembelaan terhadap anak-anak
bangsa yang mengadu nasib sebagai pekerja migran.
Putera-puteri dan keluarga Kikim Komalasari, TKW yang dibunuh di Arab |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar