Cari apa saja di sini

EKONOMI PERBUDAKAN

Diterima:  Minggu, 21 November, 2010 09:20

Anwari WMK
 
Sumiati, TKW yg disiksa di Arab
Ternyata, perbudakan merupakan narasi pilu yang bergema abadi di sepanjang sejarah umat manusia. Munculnya Universal Declaration of Human Right di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948 tak serta-merta meniadakan perbudakan. Di berbagai penjuru Planet Bumi terus menyeruak problema perbudakan. Abad 21 pun merupakan sebuah kurun waktu yang tak sepenuhnya terbebaskan dari belenggu perbudakan. Bahkan, perbudakan pada abad 21 inherent ke dalam proses-proses ekonomi serta berada di tengah pusaran pasar kerja. Jika pada abad-abad yang lalu seseorang ditangkap menjadi budak, pada abad 21 kini perbudakan bermula dari pasar kerja. Kompetisi memperebutkan pasar kerja merupakan jalan menuju terciptanya perbudakan.
 
Kenyataan ini mengingatkan kita pada pandangan filosofis GWF Hegel (1770-1831), bahwa sejarah merupakan perjuangan abadi meneguhkan kebebasan. Di sepanjang perjalanan sejarah, manusia berjuang meraih kebebasan. Format atau bentuk perbudakan mungkin saja berubah. Tetapi, hakikat dan makna perbudakan justru membentang panjang dalam sejarah umat manusia. Cita-cita mewujudkan kehidupan yang manusiawi pun terus bergema abadi tanpa titik akhir. Sejarah lalu tak pernah kehabisan agenda menyuarakan pembebasan hakiki manusia dari belenggu perbudakan. Sejarah bahkan dengan mudahnya berubah menjadi mantra pembebasan manusia dari perbudakan. Dan karena itu pula sejarah merupakan hakim agung yang tampil ke depan memberikan penilaian terhadap martabat tidaknya kehidupan umat manusia.
 
Kisah sedih dan penderitaan Sumiati binti Salan Mustafa (23) merupakan contoh kongkret kecamuk perbudakan pada abad 21. Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Dompu, Bima, Nusantara Tenggara Barat, itu sejak 18 Juli 2010 bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Khaled Salem M. al-Khamimisering di Madinah, Arab Saudi. Ia hadir sebagai TKW di keluarga tersebut melalui perusahaan penyalur tenaga kerja yang berkedudukan di Jakarta. Tragisnya, Sumiati yang tak mampu berbahasa Arab dan Inggris mengalami siksaan fisik. Di sekujur tubuh Sumiati terdapat bekas luka sangat parah. Bahkan terdapat bekas guntingan di mulut Sumiati. Media micro-blog [facebook dan twitter] lantas heboh oleh terkuaknya berita penyiksaan Sumiati.
 
Apa yang bisa dimengerti dari cerita pilu Sumiati adalah perbudakan pada abad 21. Suprastruktur pencetus perbudakan sepenuhnya faktor ekonomi. Sehingga tak berlebihan jika dikatakan, duka pilu Sumiati merupakan akibat logis dari bekerjanya sistem ekonomi perbudakan. Sementara berbagai aspek pendukung terciptanya sistem ekonomi perbudakan tak dirasakan sebagai elemen vital pembentuk sistem perbudakan. Dengan kata lain, sistem ekonomi perbudakan telah sedemikian rupa membentuk mind set, sehingga tak dirasakan sebagai penistaan terhadap kemanusiaan. Tindakan keji keluarga majikan lalu menemukan momentumnya oleh bekerjanya sistem ekonomi perbudakan.
 
Bagaimana sistem ekonomi perbudakan bekerja, dapat disimak dari paparan berikut. Pertama, perusahaan penyalur tenaga kerja mengetahui dengan jelas, bahwa Sumiati tak mampu berbahasa Inggris dan Arab. Penempatan Sumiati sebagai pekerja migran di Madinah menjadi suatu bentuk pemaksaan terhadap fakta kegagapan berkomunikasi pada seorang pekerja migran internasional. Ini bukanlah problema aksidental, tetapi sebuah tindakan yang inherent dengan sistem ekonomi perbudakan. Jika perusahaan penyalur tenaga kerja memiliki kesadaran utuh berkenaan dengan bahaya besar kemanusiaan akibat bekerjanya sistem ekonomi perbudakan, maka niscaya untuk tak menjadikan Sumiati pekerja migran internasional. Perusahaan penyalur tenaga kerja abai terhadap problema bahasa sebagai pencetus terjadinya kesalahpahaman dalam totalitas relasi buruh-majikan.
 
Kedua, Sumiati merupakan sosok anak bangsa yang ternista ketidaksempurnaan pasar kerja. Berlatar belakang keluarga miskin, ia mendamba hidup lebih baik melalui pelaksanaan peran sebagai pekerja migran. Tapi, keterbatasan kemampuan memperhadapkan dirinya pada opsi kerja sebagai pembantu rumah tangga. Seandainya pasar kerja bersih dari patologi ekonomi perbudakan, maka seorang anak bangsa seperti Sumiati diberdayakan terlebih dahulu. Kita menyaksikan di sini, perusahaan penyalur tenaga kerja hanya fokus pada perolehan keuntungan dari fungsi agensi pengiriman tenaga kerja ke mancanegara. Tidak penting seorang seperti Sumiati memiliki kelemahan dalam hal penguasaan bahasa asing, sebab yang dipandang penting hanyalah keuntungan dari besarnya permintaan lapangan kerja oleh para pencari kerja di negeri ini.
 
Ketiga, ekonomi perbudakan menguat sebagai konsekuensi logis kegagalan negara menegakkan kedaulatan rakyat. Hingga kini, para penyelenggara negara berada pada titik pertaruhan, justru karena gagal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tatkala kasus Sumiati menyeruak ke permukaan, berbagai elemen negara yang berkaitan erat dengan pekerja migran justru masih berbicara tentang momentum penegakan hak asasi manusia TKW di mancanegara. Sungguh pun ekspor TKW telah berlangsung sejak dekade 1980-an, negara masih kosong dari spirit pembelaan terhadap anak-anak bangsa yang mengadu nasib sebagai pekerja migran.
 
Selama politik ketenagakerjaan tumpul memahami hakikat dan logika ekonomi perbudakan, selama itu pula terus bermunculan kasus serupa Sumiati.
Putera-puteri dan keluarga Kikim Komalasari, TKW yang dibunuh di Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau bergabung klik FOLLOW berikut ini :

Total Kunjungan